Valuasi dan Strategi Komersialisasi Teknologi

Cibinong. Humas LIPI. Suatu valuasi paten atau valuasi teknologi sangat urgent dilakukan bagi lembaga/kampus jika ingin mengomersialisasikan teknologinya. Penilaian yang salah akan sangat berbahaya bagi lembaga karena akan merugikan tidak hanya lembaga tapi juga periset karena periode komersialisasi tidak hanya berhenti pada 1 bulan atau 1 tahun saja, tapi bisa berpuluh-puluh tahun. Tentu ini adalah hal yang tidak ingin dialami oleh lembaga. Untuk dapat memahami secara tepat mengenai valuasi teknologi dan metodenya ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Pemanfaat dan Inovasi IPTEK (PPII) menyelenggarakan Webinar Valuasi dan Strategi Komersialiasi Teknologi secara daring, pada Jumat (23/7).
Koordinator Alih Teknologi dan Inovasi Bisnis PPII LIPI, Theresia Ningsi Astuti, menerangkan Teknologi Transfer adalah dimana teknologi atau pengetahuan yang dikembangkan di satu tempat atau untuk tujuan diterapkan dan dieksploitasi di tempat lain untuk tujuan lain juga. “Prosesnya yaitu dari R&D atau research and development dari penelitian kemudian ada IP Creation atau intelektual property creation yaitu hasil dari penelitian tersebut menghasilkan satu inovasi tertentu kemudian didaftarkan menjadi salah satu IP bisa dalam bentuk paten atau hak cipta, disain industri atau dalam bentuk yang lainnya. Kemudian IP Protection, yakni perlindungan KI dilakukan oleh LIPI yang diajukan ke Kementerian Kumham atau Dirjen Paten. Ada pula IP Eksploitasion, yaitu dimana hasil hasil IP dari peneliti tersebut ingin dikomersialisasikan atau ingin digunakan oleh industri, maka harus dilihat bagaimana potensi-potensinya bagaimana dari lab menjadi skala industri tentunya butuh effort atau kegiatan-kegiatan yang mendukung sampai siap untuk diproduksi diskala industri,” jelasnya.
Theresia mengatakan secara umum ada beberapa model transfer teknologi diantaranya yaitu: 1) Trade shell atau jual putus; 2) spin off/out adalah membentuk satu perusahaan dimana terlepas baik harta dan kewajibannya dari perusahaan induknya; 3. Licensing yaitu memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dari IP tersebut tanpa mengalihkan hak kepemilikannya; 4) Joint Venture model bisnis dimana dua perusahaan yang bergabung menjadi satu untuk membentuk satu perusahaan yang baru dimana diperusahaan baru tersebut akan melakukan kegiatan komersialisasi teknologi pada IP tersebut; 5) Strategic Alliance dua perusahaan yang yang tetap berdiri masing-masing akan tetapi dalam melakukan kegiatannya bergabung untuk mencapai satu tujuan tertentu; 6) Unit Bisnis Teknologi dapat dibentuk dalam satu unit instansiatau satu perusahaan dimana dalam unit bisnis tersebut fokus untuk melakukan kegiatan komersialisasi terhadap teknologi tersebut,” terangnya.
“Disini juga ada potensi spin off atau spin out apabila dalam bsisnis tersebut ada potensi yang sangat besar sehingga harus dil;epasakan dari perusahaan besar atau induknya.yang terakhir yaitu Diseminasi golongannya bukan termasuk komersialisasi tetapi dalam komersialisasi ada bagian diseminasi yaitu menyebarluaskan teknologi kepada masyarakat,” imbuh Theresia.
Theresia juga menambahkan didalam proses alih teknologi dari teknologi therel satu sampai therel 9, dimana dari therel satu sampai empat itu merupakan skala lab atau basic research kemudian therel 7 sampai sembilan ini sudah siap dikomersialisasikan ke pihak industri. Yang biasanya riskan di therel 5 dan 6 jadi diperlukan strategi bagaimana teknologi tersebut dapat dilanjutkan ke skala komersial.
“Diperlukan juga adanya teknology evaluation apa saja yang perlu dievaluasi dalam teknologi tersebut yaitu: 1) Komersialiasasi, ada tidaknya potensi yang akan dikomersialisaikan teknologi ini; 2) Invest, pada saat meng-create suatu teknologi maka diperlukan pendanaan seperti dana riset, dan lain-lain; 3) Teknologi Scouting, perlu melihat teknpologi diluar sana seperti apa sih. Ini diperlukan untuk membuat strategi apakah teknologi tersebut layah untuk dikembangkan; dan 4) Special Award. Apakah teknologi ini pernah Mengikuti lomba lomba inovasi, karya ilmiah dan mendapatkan penghargaan,” papar Theresia.
Lebih lanjut Theresia menerangkan tentang Technology Assesment dan Patent Evaluation (TAPE), mulai teknologi yang digunakan seperti apa, kemudian marketnya, bagaimana perkembangannya nanti, kemudian inventor-inventornya bagaimana, siapa saja, darimana saja, kemudian patent check didaftarkan dimana saja dsbnya. Hal ini digunakan untuk melihat potensi komersialnya. “Ada juga yang disebut Portfolio Analisys and Commercialization Evaluation (PACE). Ini melihat dari ketertarikan marketnya seperti apa, kemudian juga tentang commercialization readness kesiapan untuk komersialnya bagaimana. Kemudian tantangan dalam proses komersilisasi ini apa saja seh, dari mulai IP Evaluation kita perlua mengevaluasi dari KI, bagaimana cara mengcreate IP tersebut,” tuturnya.
Theresia menjelaskan pula tentang Innovation Ecosystem Participants. “Yang termasuk dalam ekosistem ini adalah Pertama, Research Institution (LIPI) Universitas, lembaga research, industri. Kedua, Pemerintah, sistem peraturan perundangan-undangannya bagaimana, kebijakannya mendukung atau tidak. Ketiga, Capital Provider, kita juga perlua membangun networking dengan angel investor, venture capitalist, bank, private equty agar teknologi dan komersialisasi yang akan kita lakukan mereka akan aware. Keempat, incubator atau accelerator diperlukanuntuk menjembatani dari skala lab ke skala komersial diperlukan proses. Kelima, Service Provider ada pihak-pihak lain yang dibutuhkan seperti IP agent, lawyer, protyper, human resource, recruitment dan accountant,” rincinya.
“Di LIPI perolehan KI-nya adalah lebih dari 1000 untuk patennya 1.244, hak cipta 71, merek 32, desain industri 22, perlindungan varietas tanaman 12. dibandingkan dengan tingkat atau prosentase yang dapat dikomersialisasiklan masih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan patennya. Setiap tahun paten di LIPI naik tetapi di tahun 2020 terjadi penurunan karena adanya pandemi yang diakibatkan aktivitas peneliti terbatas dan pendanaan yang direlokasi untuk penanganan Covid-19. Perolehan lisensi di LIPI masih kecil tetapi sudah menunjukkan peningkatan yang positif. Pada tahun 2021 penerimaan royalti yang diberikan oleh mitra penerima lisensi kepada LIPI sampai Juni 2021 adalah 1.609 M. Ini bukan dari banyaknya lisensi tetapi ada satu lisensi yang bagus pasarnya sehingga dapat memberikan konstribusi. Ini terjadi karena antara commersialization readness dan market attarctivenessnya sama tinggi,” jelas Theresia.
Sedangkan Proses Transfer Technology di LIPI yaitu dari Peneliti di LIPI meng-create satu IP kemudian didaftarkan, diproses lisensi ke industri, sebagai imbal balik industri memberikan royalti ke LIPI dalam hal ini PPII yang ditunjuk sebagai pengelola IP atau kekayaan intelektual dari mulai pendaftaran hingga pemanfataannya. Kemudian dari hasil perolehan lisensi ini diberikan ke Inventor sesuai dengan PMK 72 dan yang terkait paten dan PVT.
“Menghasilkan IP untuk didaftarkan ada valuasi yang digunakan untuk pencarian pasar ataupun proses evaluasi dari teknologi tersebut, ada potensi marketnya atau tidak. Proses transfer teknologi ini ada 2 macam Komersial dan Non Komersial. Komersial masuk ke Industri jika teknologi tersebut dapat diadop oleh industri atau bisa juga melalui inkubator apabila teknologi tersebut masih perlu divalidasi atau perlu dikembangkan untuk siap sampai ke industri. Untuk mekanismenya melaui lisensi. Dari lisensi ini kita mendapatkan manfaat finansial tentunya. Non komersial ada beberapa teknologi yang sudah menjadi publik domain tetapi masyarakat membutuhkan, kita dapat bekerjasama dengan pemerintah2 daerah untuk pendampinganteknologi tersebut . impactnya akan membrikan manfaat sosial dan kesejahteraan bagi masyarakat,” papar Theresia
Di akhir paparan Theresia menerangkan bahwa dalam menciptakan ekosistem inovasi di LIPI ada beberapa model kerjasama yang tidak semuanya harus lisensi, tetapi kita juga membuka kerrjasama dari hulu sampai ke hilir. Jika stepnya masih di hulu maka difasilitasi dengan kerjasama penelitian atau kerja sama-kerja sama yang teknologinya tidak dilindungi HAKI-nya tetapi ada nilai komersialnya, itu bisa dilakukan kontak bisnis. Kemudian ada kerjasama penyediaan infrasruktur dan fasilitas industri yang dilakukan di STP, optimalisasi aset (mengindentifikasi set-aset yang ada di LIPI yang idle, dengan disewakan atau dimanfaatkan oleh mitra sesuai dengan peraturan menkeu), dan kemudian adanya diseminasi ke kelompok masyarakat
“Dalam proses mempercepat atau strategi komersialsiasi atau proses alih teknologi memang dibutuhkan pesronal-personal yang yang ahli dibidang ahli teknologi. Diharapkan dengan adanya profesional-profesioanal dibidang ahli teknologi akan mempercepat proses alih teknologi tersebut,” pungkas Theresia.
Pembicara kedua yaitu Irene Muflikh Nadhiroh, M.Si, Senior IT Valuator PPII LIPI memaparkan tentang “Valuasi Teknologi: Overview dan Faktor yang perlu diperhatikan.”
Irene menerangkan definisi Value menurut Potter (2007) adalah Value is what a willing buyer and a willing seller have agreed up on as the basis for the exchange of property or, in our case, intelectual property (IP) rights.
Menurutnya Valuation is the process of estimating a mutuality agreed upon value for a product or an intellectual property that will enable its transfer from seller to buyer. “Di kita biasa disebut teknologi supply ke perusahaan atau ke industri yang akan menggunakan teknologi yang sudah kita hasilkan. Ada beberapa missconception tentang value dan valuation tadi, yakni valuation is the search for the true value of an asset/technology. Ada juga yang bilang “A good valuation provides a precise estimate of value”. Kedua pernyataan tersebut tidak tepat karena semua valuasi yang dilakukan didasarkan pada asumsi asumi tertentu.
“Mengapa perlu valuasi KI? Valuasi KI ini diperlukan untuk perencanaan strategis menentukan apakah produk ini perlu strategi penjualan atau komersialiasi tertentu. Untuk laporan keuangan karena KI ini meripakan aset tak berwujud, untuk komersialisasi, untuk financing (untuk deal dengan investor) atau untuk lisensi dengan industri, infringement dari KI tersebut jadi kita harus bisa menghitung berapa kerugian yang didapat ketika ada pelanggaran KI,” jelas Irene.
Jika berbicara dari awal sampai akhir transfer teknologi valuasi itu ada dua, yang pertama itu yakni ketika tahap preliminary evaluation dari sebuah teknologi. Kita menilai apakah teknologi ini commercial viabilty seperti apa, apakah potensi komersial memiliki nilai ekonomi yang tinggi atau tidak. Yang kedua, ketika melaksanakan commercialization plan apakah itu dengan star up ataulisensi yang ada hubungannnya denganpihak ke tiga dan proses transfer teknologi dan ada uang yang masuk akan ada negosiasi-negosiasi, maka proses valuasi akan lebih kompleks karena harus menentukan nilai lisensi fee royalti dan lain-lain.
“Ada tiga pihak yang terlibat dalam valuasi teknologi ini yang pertama adalah universitas, Industri dan investor. Masing masing mempunyai perspektif atau background yang motivasi yang berbeda beda. Universitas lebih untuk impact, income, publikasi, proteksi intelectualnya dan juga mengontrol teknologinya tersebut. Industri melakukan transfer teknologi dan valuasi untuk mempercepat produk nya dan mengurangi costnya dan mendapatkan brand dari lisensinya. Investor motivasinya adalah yang paling utama adalah melihat potencial high proof, sustainable competitive dan tentu saja return of invesment,” jelas Irene.
“Apa yang diharapkan dari melakukan suatu proses valuasi teknologi? Kita dapat mengetahui berapa ukuran produk kita dan sehingga kita bisa menentukan berapa bagian yang akan kita berikan kepada pihak ketiga, pihak lain, yang akan melisensi , memberikan investasi dan berapa bagian kita,” tambah Irene.
Irene menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai dari sebuah invensi adalah: 1) Potential market; 2) Technology maturity; 3. Disruptive potencial dan quality technology. Dan dipengaruhi juga oleh faktor regulation, development cost, patent cost dan yang paling besar dan paling mempengaruhi adalah faktor risiko.
Ada 3 metode yang paling populer yang sering digunakan dalam melakukan valuasi teknolgi. Pertama, Cost Approach. Metode ini berbasiskan biaya berapa biaya pengembangannya kemudian humas resources, materialnya serta biaya biaya lain terkait pada saat pendaftaran paten. Metode ini hanya melihat biaya apa yang sudah dikeluarkan ketika kita mengembangkan teknologi tersebut atau patet tersebut. Metode ini tidak bisa mmebrikan gambaran nilai ekonomi dari sebuah teknologi atau paten
Kedua, Market Approach, adalah nilainya ditentukan berdasarkan nilai pasar dari teknologi terkandung dengan melihat nilai dari teknologi lain yang sama atau sejenis yang telah adaa dan telah dipakai oleh industri. Pencarian datanya dapat melaui survey, laporan keuangan perusahaan dan lain-lain.
Ketiga, Income Approach yang berfokus pada future cash flow yang dihasilkan dari penggunaan teknologi tersebut dan harus memasukan time value of money karena kita melakukan dealnya saat ini berdasarkan hasil proyeksi dimasa depan. Ada beberapa hal yang dimasukan dalam proses perhitungannya cotohnya IP life time dan faktor risikonya dan cash flow (unit apa saja yang perlu dimasukan dalam proses produksi dari produk yang digunakan dari teknologi yang dihasilkan).
Pendekatan yang digunakan tecno economic analysis ada 3 yang dilakukan yaitu technical analysis, market analysis dan financial analysis. Dari tecno economic analysis kita bisa memperhitungkan atau mengestimasi berapa marker risk, strategic risk seperti apa, management risk seperti apa, financial risk bagaimana dan technology risk-nya seperti apa. Kita harus mengumpulkan banyak data bisa dari internal sources , goverment publication reseacrh report dan lain-lain.
Untuk Qualitative Assessment yang popular digunakan partner 5 forces yaitu analis qualitatif untuk menganalisa persaingan dan pengembangan strategi perusahaan dengan melihat dari potensi dari faktor internal dan eksternal (supplier power, buyer power seperti apa, threat of new entry bagaimana threat substitution gimana dan competitive rivalry yang terjadi seperti apa market land scope-nya)
“Kalau untuk income base sendiri calculation steps–nya cukup rumit karena tahapannya lebih panjang. Pertama harus menentukan relevant cost dan revenue, kedua melakukan proyeksi terhadap penjualannya, ketiga melakukan identifikasi dan perhitungan risiko, keempat melakukan estimasi future cash flow dan mengaplikasikan discount rate mendapatkan nilai NPV, dan kelima bertanya ke diri dan rekan seberapa yakin akan hasil valuasi. Kemudian evaluasi asumsi yang digunakan,” jelas Irene.
“Bagian untuk technology supllier ada beberapa hal yang dapat dihitung sebagai slice universitas atau lembaga litbang seperti license fee reseacrh cost, development cost, milestones cost, patent application cost, royalties dan equipment jika ada,” tutup Irene. (yn ed sl)